Jumat, 18 Maret 2011

Moratorium Hutan: Melindungi Hutan atau "Business as Usual"?

 

Berita - 16 Februari, 2011
Greenpeace bersama Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil mencoba menerjemahkan draft moratorium (penghentian sementara) penebangan hutan yang saat ini beredar baik dari versi Kementrian Kehutanan maupun REDD+ task force (Satgas REDD+). Draft Moratorium tersebut diuraikan dalam bentuk peta indikatif moratorium dan data olahan yang menunjukkan luasan yang akan dicakup dalam moratorium berdasarkan skenario draft Kementrian Kehutanan, REDD+ task force dan Platform Bersama Penyelamatan Hutan dari Organisasi Masyarakat Sipil.
Hasil olahan data dan peta menunjukkan bahwa draft moratorium versi Kementrian Kehutanan pada dasarnya hanya melindungi hutan primer dan lahan gambut tersisa, jika data Kementrian Kehutanan (2006) yang dirujuk maka sebenarnya yang menjadi obyek moratorium hanyalah kawasan konservasi dan kawasan lindung yang selama ini sudah dilindungi oleh peraturan perundangan ada dan berlaku saat ini.

Klik disini untuk peta yang lebih besar
Sedangkan dari draft moratorium versi REDD+ task force menunjukkan cakupan moratorium yang sedikit lebih luas di banding draft versi Kementrian Kehutanan. Penerjemahan Platform Bersama Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global dari organisasi masyarakat sipil dalam peta dan angka menunjukan cakupan moratorium hutan yang jauh lebih luas.

Klik disini untuk peta yang lebih besar

Klik disini untuk peta yang lebih besar
Ketiadaan definisi dan ukuran yang jelas dalam draft moratorium berpotensi untuk terjadinya kesimpangsiuran dan kekacauan dalam pelaksanaannya nanti. Di pihak lain, salah satu pemain besar perkebunan sawit melangkah maju dengan mengumumkan kebijakan terbaru mereka untuk berhenti mengkonversi hutan. Hal ini bisa menjadi dukungan dan rujukan karena kebijakan perusahaan tersebut merupakan dukungan atas pelaksanaan moratorium yang jelas dan terukur.
Ukuran 35 ton karbon per hektar menjadi batas yang jelas untuk perlindungan hutan.Orientasi peningkatan produktivitas dan peningkatan nilai tambah produk yang dihasilkan bisa menjadi arah kebijakan pembangunan industri ekstraktif Indonesia, tanpa harus mengorbankan hutan yang masih tersisa serta menghentikan deforestasi.
"Komitmen dan keseriusan Presiden SBY untuk menurunkan emisi sebesar 26%-41% yang utamanya bersumber dari deforestasi sedang diuji, jika Presiden gagal mewujudkan moratorium yang bisa melindungi hutan dan lahan yang bernilai konservasi tinggi, mempunyai nilai simpanan karbon tinggi, mempunyai nilai sosial dan kultural, artinya Presiden tidak serius dengan komitmen penurunan emisi dari deforestasi. Ini artinya juga Presiden tidak berhasil menjamin hak dasar rakyat Indonesia untuk bisa menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat, Kehancuran hutan dan tingginya emisi yang diakibatkannya serta dampak perubahan iklim yang menyertai jelas lebih banyak akan meyengsarakan rakyat Indonesia," ujar Yuyun Indradi, Penasihat Politik Greenpeace Asia Tenggara.
Dalam beberapa bulan terakhir secara terang-terangan kelompok industry terus menerus mengumbar ancaman terhadap komitmen perlindungan hutan Presiden SBY, dengan motif meremehkan komitmen Presiden SBY dan tetap berkeinginan untuk melanjutkan penghancuran hutan Indonesia.
Sementara itu Teguh Surya dari Walhi menyatakan, rekomendasi Menteri Kehutanan agar moratorium hanya mencakup hutan primer adalah merupakan rekomendasi yang tidak efektif dalam upaya perlindungan hutan Indonesia.
Sedangkan Giorgio Budi Indarto dari ICEL menyatakan, “dari kacamata hukum, ada kekhawatiran bahwa aturan moratorium itu tidak terimplementasi dengan baik. Perlu ada restrukturisasi dan perbaikan di bidang hukum, jika tidak maka dikhawatirkan moratorium tidak akan ada artinya.”
“Makin menunjukkan bahwa masalah utama dalam moratorium ini adalah Menteri Kehutanan itu sendiri, karena masih berorientasi pada ekonomi kayu. Terkait Peraturan Presiden, ada tiga langkah yang harus dilakukan. Pertama, di masa ini pemerintah harus menghentikan pengeluaran dan perpanjangan izin. Kedua, harus ada upaya segera penyelamatan hutan-hutan yang paling terancam, dan terakhir adalah penyelesaian masalah-masalah sosial,” Teguh menegaskan.
Bersama Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat lain, Greenpeace terusmenyerukan perlindungan segera terhadap seluruh lahan gambut dan menerapkan moratorium di semua hutan alam baik pada izin baru maupun pada izin yang telah ada.
sumber  : http://www.greenpeace.org

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More